Bandar Lampung - Ingatkah nasib yang dialami oleh Kurator AS dan JOS ??? Kurator AS dilaporkan oleh salah satu pemegang saham minoritas Kymco, PT Metropolitan Tirtaperdana (MTP), Kurator JOS justru dilaporkan oleh debitornya sendiri, Laporan ini dinilai aneh oleh kubu JOS karena dia dianggap telah menjalankan tugasnya sesuai prosedur hukum kepailitan.
Kasus kurator yang dipidana tidak hanya menimpa kedua kurator itu saja, Kurator RBP, LS dan GH melakukan kesalahan yang merugikan harta pailit (Pasal 72 UU Kepailitan dan PKPU) berupa penggelapan dana kreditur. ketiganya divonis pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan denda Rp. Masing-masing 100 juta.
Kasus lainnya adalah terkait pailitnya PT Metro Batavia. Kasus ini bermula ketika Kurator-Kuratornya mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga terkait tanah dan bangunan yang menjadi Kantor Pusat PT Metro Batavia di Jl. Ir. H. Juanda Nomor 15, Kelurahan Kebon Kelapa, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 2257/Kebon Kelapa. Setelah diteliti dengan seksama, Para kurator tersebut berpendapat bahwa tanah dan bangunan tergolong harta pailit. Namun tanah dan bangunan telah dialihkan oleh Debitur kepada pihak ketiga. Majelis Hakim Niaga Jakarta Pusat dan Majelis Hakim Kasasi menolak gugatan ketiga Kurator. Namun pada tingkat Peninjauan Kembali (PK), Majelis Hakim PK mengabulkan gugatan Kurator bahwa tanah dan bangunan Jl. Ir. H. Juanda Nomor 15, Kelurahan Kebon Kelapa, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 2257/Kebon Kelapa dalam keadaan pailit. Debitur melalui kuasa hukumnya melakukan perlawanan dengan melaporkan Kurator- Kurator tersebut ke Bareskrim Polri dengan tuduhan membuat pernyataan palsu dalam tingkatan PK. Kurator-Kurator akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Namun melakukan perlawanan dengan mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan kemudian dibebaskan demi hukum. Kurator didakwa Tidak independen (Pasal 15 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU) dan melakukan kesalahan. (Pasal 72 UU Kepailitan dan PKPU).
Dalam perkara Pidana yang melibatkan Kurator, nampaknya hukum kepailitan adalah ranahnya Perdata namun tidak luput dari Hukum Pidana. Hal ini selain membingungkan akibat tumpang tindih penyelesaian perkara kepailitan, juga menyebabkan UU Kepailitan dan PKPU menjadi tidak otonom dan tidak bermartabat, dimana Hukum Pidana terkesan lebih unggul dibandingkan sistem hukum lainnya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU, Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-undang ini. Sedangkan definisi Pengurus tidak ditegaskan dalam UU 37/2004, tetapi dalam Pasal 225 UU 37/2004 (bagian tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) diatur bahwa Pengadilan atas Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh Debitur atau Kreditur harus menunjuk seorang Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama dengan Debitor mengurus harta Debitor. Dapat disimpulkan, bahwa terhadap Debitor yang dinyatakan pailit, pihak yang berwenang mengurus dan membereskan harta Debitor adalah Kurator, sedangkan Debitor yang dinyatakan PKPU kewenangan pengurusan harta debitur dilakukan oleh Pengurus. Tugas Kurator memiliki persamaan dengan liquidator di Inggris. Berdasarkan Insolvency Act 1986 tugas liquidator dalam section 143(1) adalah: (Milman & Durrant, 1987:69).
Kurator adalah profesional yang diangkat oleh Pengadilan Niaga untuk melakukan pengurusan dan pemberesan. Maksud pengurusan di sini adalah mencatat, menemukan, mempertahankan nilai, mengamankan, dan membereskan harta dengan cara dijual melalui lelang. Kurator memastikan barang yang disita bisa diindentifikasi, di-, dipertahankan, bahkan dikembangkan nilainya untuk dijual dan dibagikan hasilnya kepada kreditor.
Kurator dan Pengurus juga berfungsi sebagai penjaga aset Debitur atas kemungkinan tindak kesewenang-wenangan para Kreditor yang ingin merampas harta Debitor secara curang dan merugikan Kreditor lainnya. Hal ini merupakan konsekuensi logis atas penerapan ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata yang berbunyi: Ketentuan tersebut dalam ranah kepailitan populer disebut sebagai prinsip, yang artinya harta kekayaan debitor merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional diantara mereka, kecuali jika antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.
Dalam praktiknya seringkali para kurator ini dilaporkan secara pidana oleh pihak yang bersengketa. Biasanya kasus yang menimpa beberapa kurator ini terkait masalah kepengurusan harta budel pailit. Selama ini banyak pihak yang merasa dirugikan dalam pembagian harta budel pailit yang dilakukan oleh kurator. Menurutnya, salah satu masalah yang masih menjadi persoalan adalah hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan dan kepastian hak dan kewajiban kurator. Artinya, kalau kurator itu tidak melaksanakan pengurusan harta pailit, sementara kurator punya kewajiban untuk itu, maka hal itu memungkinkan seorang kurator untuk digugat secara pribadi.
Dari sekian banyak hambatan dan resiko hukum yang pernah dialami kurator dalam menjalankan profesinya beberapa hambatan dan risiko itu, sebagai berikut:
1. Kurator tidak diizinkan oleh debitor pailit atau dihalang-halangi untuk memasuki atau tempat kediamannya serta diancam oleh debitor atau kuasa hukumnya untuk dilaporkan secara pidana telah memasuki pekarangan secara melawan hukum (Pasal 167 KUHP).
2. Kurator dilaporkan oleh debitor ke Polisi atas dasar memasukkan keterangan palsu karena menolak tagihan kreditor yang menurut debitor merupakan kreditornya (Pasal 263 KUHP).
3. Kurator dilaporkan oleh debitor ke Polisi karena melakukan pencemaran nama baik atas pengumuman kepailitan yang dilakukan oleh Kurator.
4. Kurator dilaporkan oleh debitor ke Polisi atas dasar penggelapan karena telah melakukan penjualan harta pailit tanpa persetujuannya
Hak Imunitas Bagi Kurator dan Pengurus
Perlunya perlindungan hukum kepada Kurator dengan pengaturan dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU bahwa kurator tidak dapat di tuntut baik pidana maupun perdata (hak imunitas) baik berlangsungnya kepailitan maupun setelah berakhirnya kepailitan selama menjalankan kewenangan berdasarkan undang-undang. Hal ini disebabkan karena rentannya kurator dipidana saat menjalankan tugasnya
Untuk menangkis kriminalisasi profesi kurator, hanya yaitu berdasarkan Pasal 50 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 50 KUHP tersebut dapat menjadi dasar terhadap terjaminnya pelaksanaan tugas dari kurator karena sebagai pejabat yang diangkat dan ditugaskan oleh pengadilan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang. Sepanjang melakukan tugas dan kewenangan yang diperintahkan oleh undang-undang dalam hal ini Undang-Undang Kepailitan maka tidak ada alasan untuk diklasifikasikan melakukan tindakan pidana. Selain itu dikaitkan dengan ketentuan Pasal 69 Ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, yang isinya tentang pemberian tugas kepada kurator atas pengurusan dan pemberesan harta pailit maka jelas membuktikan bahwa undang-undang ini telah memberikan mandat kepada kurator untuk melakukan suatu perbuatan tertentu yang telah diuraikan dalam isi pasal pada undang-undang tersebut.
Beberapa alternative dalam memberikan perlindungan terhadap kurator yang beritikad baik dalam pemberesan harta pailit. Pertama, terhadap Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, perlu dilakukan karena tidak ada ketentuan yang dapat memberikan perlindungan hukum bagi kurator. Undang-Undang Kepailitan dan PKPU hanya berpihak pada kepentingan harta pailit, sebagaimana ditentukan Pasal 72, dengan rumusan “Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit”. Sebaliknya, tidak ada imunitas bagi kurator yang beritikad baik dalam melaksanakan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Oleh karena itu, perlu ditambahkan dengan aturan dengan rumusan “kurator tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik dalam rangka melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Ketentuan itu, penting untuk memberikan rasa aman bagi kurator yang beritikad baik, sementara konsep itikad baik juga harus ditentukan batasannya sehingga memudahkan, seperti dalam mengimplementasikan. Itikad baik dapat diukur dengan cara pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit yang dilakukan kurator telah sesuai dengan prosedur dan tata cara yang ditentukan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.
Gagasan ini lahir dari rasa galau melihat ketidakjelasan mengenai siapa sebenarnya kurator dan hak imunitasnya. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU memang mengatur kurator menjalan profesi, tetapi tak jelas menggambarkan siapa kurator. Bila diatur secara khusus, kurator dapat bekerja dengan lebih tenang sehingga dapat memaksimalkan budel pailit. Dengan imunitas, kurator tidak disibukkan dengan jawab-menjawab gugatan atau laporan pidana dari pihak lain sehingga mengganggu kurator menjalankan tugasnya.
Kedua, perlu dibuat Undang-Undang tentang Profesi Kurator, tidak mengapa perlindungan hukum profesi kurator tidak dicantumkan dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Lebih bagus diatur dalam undang-undang tersendiri, seperti halnya profesi advokat. Selama ini, persyaratan untuk menjadi kurator tidak diatur dalam aturan selevel undang-undang, melainkan setingkat Peraturan Menteri. Saat ini mengenai tata cara dan persyaratan pendaftaran tentang Kurator diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 18 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Kurator dan Pengurus. Akan lebih sistematis dan komprehensif perlindungan hukum (imunitas) profesi yang beritikad baik dalam melaksanakan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit.
Bilamana diatur dalam undang-undang tersendiri, selain secara komprehensif dan sistematis menentukan tata cara dan persyaratan pendaftaran tentang kurator ditambahkan dengan aturan dengan rumusan “kurator tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik dalam rangka melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Sekaligus dirumuskan yang dimaksud itikad baik itu sendiri, diukur dengan cara pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit yang dilakukan kurator telah sesuai dengan prosedur dan tata cara yang ditentukan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.
Ketiga, pembentukan Dewan Etik Bersama ini karena lebih dari satu asosiasi kurator. Pembentukan Dewan Etik Bersama dapat dijadikan sarana untuk memeriksa kurator yang diduga tidak beritikad baik dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit” Selain itu, asosiasi juga mendapatkan kurator-kurator yang berkualitas. Keterkaitan antara imunitas dengan Dewan Etik Bersama konsepnya adalah ukuran untuk menentukan kurator yang beritikad baik atau tidak bertikad baik dalam melaksanakan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit ditentukan oleh kelembagaan ini. Karena beritikad baik atau tidak beritikad baik seseorang kurator terbuka ditafsirkan secara subjektif baik oleh kurator maupun oleh debitor dan kreditor yang berkepentingan.
Selain lembaga ini diberikan fungsi untuk menentukan ukuran kurator yang beritikad baik atau tidak beritikad baik dalam melaksanakan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit, lembaga ini juga berfungsi sebagai alat pemeriksa kurator yang diduga melakukan pelanggaran etika. Lantaran lebih dari satu asosiasi kurator, tujuannya adalah agar kurator yang telah dinyatakan bersalah tidak dapat berpindah-pindah asosiasi. Terkait etika kurator harus memperhatikan dua hal, yaitu etos dan logos. Dengan etos, kurator harus memperhatikan cara bicara, menghargai teman sejawatnya baik di dalam maupun di luar pengadilan. Selain etos, kurator juga harus memperhatikan logos, yaitu logika. Etos dan logos, bisa menjadi kurator yang besar, tujuannya adalah untuk menunjukkan sebagai golongan yang terpelajar. Selain itu, dapat memberikan kepastian dan kewenangan bagi kurator untuk bisa bekerja dengan tepat dan tenang. Melalui etos dan logos yang dituangkan dalam kode etik akan menuntun seorang kurator tidak keluar jalur dari tugasnya. Bila seorang kurator melanggar kode etik maka kurator itu akan dilaporkan ke badan kehormatan. Nantinya, badan itulah yang akan mensidangkan si kurator tersebut. Bila ternyata kurator itu terbukti melanggar kode etik maka dia akan mendapatkan hukuman atau sanksi. Sanksinya sendiri berupa peringatan sampai dengan pencabutan izin sebagai kurator.
Dr. Lenny Nadriana, S.H., M.H.
Dosen Tetap Magister Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai, Bandar Lampung